Jawaban Ibnu Arabi Mengapa Tidur Membatalkan Wudhu
Dalam beberapa kitab yang menganut mazhab Syafi’i, kitab Safinatun Naja misalnya, disebutkan bahwa salah satu yang membatalkan wudhu adalah tidur. Hal ini –salah satunya- didasarkan pada sebuah hadits riwayat Abu Dawud yang berbunyi: Barang siapa tidur, maka berwudhulah. Pada dasarnya, alasan tidur membatalkan wudhu ada dua. Pertama, hilang akal. Sama seperti gila atau pingsan, tidur dapat membatalkan wudhu karena hilangnya akal. Iya, orang yang sedang tidur, pingsan, atau gila berada dalam keadaan berhadast kecil atau batal wudhunya karena mereka kehilangan akal sehatnya. Kedua, kentut. Orang yang tidur tidak bisa mengontrol dirinya karena hilangnya akal. Bisa saja orang yang sedang tidur itu kentut sehingga wudhunya batal. Maka ada pengecualian dalam hal tidur membatalkan wudhu ini. Yaitu tidur tidak membatalkan wudhu manakala kita tidur dengan posisi duduk dan pantat (BM Punggung) kita menempel rapat pada tempat duduk. Tidur dengan posisi seperti ini tidak membatalkan wudhu karena tidak memungkinkan kita untuk kentut, kecuali kalau posisi pantat (BM Punggung) kita berubah pada saat tidur tersebut. Demikian, ‘faktor-faktor’ yang menyebabkan tidur membatalkan wudhu. Lalu bagaimana dengan pandangan Ibu Arabi, salah satu ulama terbesar dalam khazanah pengetahuan Islam dan juga seorang tokoh tasawuf terkemuka, tentang hal tersebut? Di dalam kitabnya yang berjudul Al-Futhuhat Al-Makkiyah pada bab Asrar al-Thaharah, Ibnu Arabi mula-mula mengemukakan perbedaan pendapat ulama soal tidur. Pertama, ada ulama yang menyebut kalau tidur merupakan hadast, baik itu tidur sebentar atau lama. Sehingga siapa saja yang tidur harus wudhu jika ingin keluar dari keadaan hadast kecil. Kedua, ada ulama yang berpendapat kalau tidur bukan lah hadast, baik tidur sebentar atau pun lama. Sehingga orang yang baru bangun tidur tidak diwajibkan berwudhu, kecuali kalau ada hadast yang keluar seperti kentut misalnya. Ulama dalam kelompok kedua ini berpandangan kalau yang menyebabkan hadast itu kentutnya, bukan tidurnya. Dan Ibnu Arabi cenderung kepada pendapat yang kedua ini. Ketiga, ulama pada kelompok ketiga membedakan antara tidur sebentar dan lama. Menurut mereka, tidur sebentar tidak mewajibkan wudhu. Sementara tidur lama atau nyenyak wajib wudhu. Menurut Ibnu Arabi, tidur sebentar menyebabkan hati menjadi lupa (ghaflah). Sementara tidur lama atau nyenyak menyebabkan hati menjadi mati dan tidak waspada terhadap taklif yang telah dibebankan Allah. Tidur nyenyak juga menyebabkan orang tidak mampu menalar, mengingat-ngingat, dan menginsafi. “Kedua keadaan ini menghapuskan thaharah hati, yang merupakan ilmu tentang Allah,” kata Ibnu Arabi.
Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/93263/jawaban-ibnu-arabi-mengapa-tidur-membatalkan-wudhu
Konten adalah milik dan hak cipta www.islam.nu.or.id
Artikel ini dalam Bahasa Indonesia. Kalau tidak faham sila bertanya kepada yang faham. AM
Maaf Tuan, sebaiknya kita ikut pendapat ulama yang 1, 2, atau 3?